Senin, 23 Mei 2011

Pelangi Anak : Pelajaran di Setiap Hal

Waktu yang efektif bagi seseorang untuk merenungi sesuatu adalah di saat sendiri. Di saat seperti itu, ia hanya akan berdialog dengan diri dan Zat Yang Maha Tinggi. Di tulisan saya Diam adalah Emas, salah satu waktu untuk kualitas merenungi kekuasaan Allah dalam diri dan sekitarnya adalah saat diam. Terdapat ruang di sana untuk merenung. Di ruang diam (sendiri), ia membicarakan dirinya sebagai manusia yang kapanpun bisa menjemput maut, entah kapan.

Namun ada satu waktu yang tak melulu harus menyendiri untuk merenungi sesuatu hal atau kejadian. Dalam artian tidak benar-benar sedang sendiri. Di saat keramaian mengelilingi diri kita pun, kesendirian bisa terasakan. Di saat inilah, siapapun bisa saja merenungi apa-apa yang ia lihat dan ia dengar. Saya tidak akan membicarakan diri saya. Yang ingin saya bagi adalah sebuah kejadian yang membuat saya merenung ketika saya sedang sendiri di tengah keramaian.

Masing-masing orang mempunyai latar belakang yang berbeda. Cara didik orang tua, sikap lingkungannya, kebiasaan dalam keluarga, dan lain-lain. Semua menjadi faktor pembentuk pola pikir dan karakter seseorang dalam mengambil keputusan. Sekecil apapun besar resikonya. Tiap kejadian di sekitarnya, dari lahir hingga mampu berpikir, akan menjadi bagian-bagian memori yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar seseorang. Yang akan berperan besar dalam membentuk  sikap seseorang dalam menghadapi sesuatu. Sekecil apapun masalahnya, seremeh apapun kejadiannya.

Suatu hari, di perjalanan pulang dari kegiatan. Di sebuah shelter Busway di grogol - Jakarta Barat. Saya melihat pemandangan ibu dan dua anaknya yang sedang menunggu Busway, saya juga. Terjadilah sesuatu yang membuat hati saya sedih. Yakni kalimat-kalimat yang terlontar dari si Ibu ketika anak-anaknya yang masih berusia 9-10 tahun saling bercanda tawa.
"Heh! Diem kagak lo!? Kalo kagak gua dorong juga lo!" Sambil nyubit lengan si anak yang tersenyum kecut, mungkin menahan malu dan sakit.
Antara kaget dan bingung dengan jalan pikiran si ibu, saya hanya terdiam memandang kejadian itu dengan pilu. Hanya bisa menyebut nama Allah.. apalagi saya belumlah pantas menilai sikap barusan. Sedih. Lalu suatu hari, di pengajian rutin saya biasa hadir. Tak terlalu jauh dari rumah. Ada rasa bahagia ketika berjumpa dengan teman-teman di sana. Bagi saya lebih tepatnya sekumpulan saudari-saudari seiman :) Oke, bukan itu yang mau saya bahas hehe.. Nah, salah satu teman membawa anak batitanya. Usianya mau 3 tahun. bayi yang lucu, menggemaskan, dan ramah >,< Hingga akhirnya, si bayi menumpahkan susu kemasan yang mau diminumnya. Olala, tumpah di bajunya dan alas di mana kami duduk. Si ibu marah! Ya, marah. Begini marahnya,
"Eh.. Udah ya dedek.. jangan ditekan-tekan dong pintar! Udah disedot aja, jangan ditekan... Umi nggak bawa baju ganti dedek.." Sambil mengelap tangan batitanya yang belepotan susu dengan tisu. Si batita sedikit tersipu malu karena merasa bersalah, dilihat teman-teman uminya, termasuk saya yang tersenyum gemas padanya.
Di lain situasi. Ketika saya berada di sebuah lokasi tempat saya bekerja. Ada kejadian yang berbeda lagi dari dua kejadian di atas. Seorang anak yang cantik, pintar, lincah, dan percaya diri. Di sela-sela pekerjaan saya yang hanya sebagai asisten saat itu, saya memandang kejadian yang membuat saya tanpa sadar merekamnya. Si anak asyik dengan gadget bukan miliknya, iPod touch yang bagi saya merupakan barang canggih. Tidak akan saya jabarkan detil karena saya gagap teknologi.. :p Dia taruh Blackberry miliknya.
"Mama... keren iPod nyaa.. nanti beliin ini yaa.. yaa yaa...?" Sambil tetap asyik, orang-orang disekelilingnya senyum-senyum kepadanya, memperhatikannya.
"Nanti aja ya.." Mamanya berkata
"Aaah nggak, pokoknya iyaa... oke okee..." dan si ibu diam.
Lalu, salah satu orang dewasa disebelahnya berkata, "Iiih, kamuu pinter banget, gemes deh.." si anak satu-satunya anak-anak disitu.



Saya termenung dengan tiga situasi yang berbeda ini. Antara senyum gelisah, sedih, prihatin, khawatir lalu entah apa rasa yang tepat untuk menyimpulkannya. Bersyukur masih ada yang begitu santun dan mendidik kepada anaknya. Sudah pasti akan banyak timbul pendapat dari kejadian-kejadian itu. Saya, yang belumlah sempurna diin nya.. (masih separuh karena belum menikah :p) tentu tak banyak yang bisa saya bahas. Karena tentu menyangkut hal bagaimana seorang IBU mendidik anaknya, memberikan contoh perbuatan (baik maupun buruk), menghadapi sikap-sikap tingkah laku anak, belumlah lagi menghadapi suami atau ayah anak-anaknya, yang saya BELUM ALAMI :')

Namun saya tetap ingin mencobanya, mencoba menyinggungnya dari sisi si anak. Yang pertama, saya yakin, si anak tidak tahu dimana letak kesalahannya, yang ia tahu, ibu nya tidak suka dia bercanda tawa. Artinya, bercanda tawa adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Ini yang akan menjadi memori seumur hidup dalam pikiran bawah sadarnya. Yang kedua, si anak menangkap bahwa saat minum susu kemasan tidak boleh ditekan, dan kejadian barusan baginya sebuah pelajaran, ibu nya marah, tapi ia tetap anak pintar. Tidak ada tekanan atau sikap yang menyakitkan. Yang direkam pikiran bawah sadarnya adalah, ibunya mempercayainya bahwa ia pintar, dan ia salah ketika ia menekan kemasan hingga susu tumpah mengotori baju satu-satunya, karena ibunya tidak membawa baju ganti. JANGAN SALAH, semua ini benar-benar akan direkam oleh pikiran bawah sadar si anak. Di saat otak dan akal belum mampu membedakan mana yang salah dan benar, dan karena anak-anak belum memakai hawa nafsu, maka pikiran bawah sadar yang murni dan jujur lah yang merekam tiap kejadian yang di alaminya. Yang ketiga, si anak merasa setiap yang dilakukannya adalah hal wajar, tidak salah. Jika terus dibiarkan pikiran bawah sadar anak akan menyimpan pola pikir ini hingga dewasa. Apalagi jika ia terus berada dikeliling orang-orang dewasa yang memuji-mujinya, tanpa teguran atau nasihat.

Semoga para wanita, khususnya muslimah, mau terus belajar untuk terus mendidik dirinya, untuk mendidik anak-anaknya.. aamin
Salam hangat, @dianmartiandani

8 komentar:

TS Frima mengatakan...

kadang saya juga tertegun melihat kejadian seperti itu. memang jadi ibu jaman sekarang perlu bijak mendidik anak ya.

Dian Eka mengatakan...

Kuncinya itu memutus pengaruh masa lalu yg negatif, agar tidak berlanjut ke generasi berikutnya.. bener2 hrs sungguh2

Yulef Dian mengatakan...

Contoh kecil dengan hikmah besar di dalamnya.
Kalau begitu, Maha Benar Allah dengan firman-Nya QS. An-Nisaa : 9.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita memahami dengan baik tafsir/maksud ayat ini. Sebuah kewajiban berikhtiar menyiapkan generasi terbaik agar terjaga dari segala bentuk kelemahan baik karakter, ilmu, dsb.

Ninda Rahadi mengatakan...

saya juga masih separuh mbak
tapi menikah dan ngga menikah itu sudah ketentuan Allah sih...

Saudara seagama itu belum tentu seiman mbak... kata teman saya :) saya juga meyakini hal yang sama..

Dian Eka mengatakan...

@mas yulef. Makasih mas :)

@ninda~ hehe.. just perumpamaan ya, mmg begitu haditsnya :) Iya, paham mksd ninda :)

Nashrul mengatakan...

jadi ingat postinganku tentang anak nakal..
memang ndak mudah ya mendidik anak, semoga apa yang kita lihat, rasakan, bayangkan, renungkan,,, pokok'e apapun yang terjadi di sekitar dapat dijadikan bekal mengarungi kehidupan kearah yang lebih baik...

Menyempurnakan separuh agama ya???? sepertinya sudah saatnya he he3x

Dian Eka mengatakan...

Nashrul. Hehe begitulah, tp Allah Maha Tahu Yang Terbaik :) hrs terus mengingatkan diri, sbg anak dan kelak orgtua..

pisped mengatakan...

keren..