Jumat, 08 Januari 2010

Maka, ambisius itu bukanlah Sang Pemimpi!

Memiliki mimpi adalah efek dari jiwa-jiwa yang optimis, semangat, kuat dan berkepribadian ke depan. Menulis mimpi-mimpi bukanlah sebuah kesia-siaan, saat sang penulis memiliki karakter jiwa seperti diatas, kuat dan yakin. Namun, pemimpi berbeda dengan ambisius. Karena sifat ambisius adalah saat kita ingin berhasil di segala hal, dalam tiap kompetisi, dan kita ingin menjadi yang terbaik di sana.

Kondisinya, jika suatu ketika si ambisius dihadapkan dengan situasi yang ternyata membuat ia terperangah, bahwa banyak orang-orang hebat di luar sana, terutama di bidang yang sedang ia tekuni dengan ambisinya. Terperangah yang tidak jarang membuat merasa jauh tertinggal, kemudian tidak jarang pula menjadi stress, kepikiran, bahwa sekarang ia sedang di ambang kegagalan, tidak bisa menjadi yang terbaik, parah!

Tulisan ini sama sekali tidak sedang bermaksud mengajak orang-orang untuk tidak bermimpi, tapi justru saya sedang menjabarkan dukungan saya, dan membagi opini tentang dua kondisi yang ternyata berbeda, si Ambisius dan si Pemimpi.

Suatu hari, seorang muslimah yang lebih berpengalaman menyampaikan satu hal yang tak terduga sebelumnya kepada saya, sekitar 5 tahun yang lalu. Saat saya masih duduk di bangku kuliah semester awal. Usianya memang lebih tua 4 tahun, seorang muslimah yang cerdas, kuat, hebat, bagiku…dengan IP di bidang Kimia nyaris 4, hapalan Al Qur’an yang sudah tidak diragukan lagi, dan dengan segala ujian pribadinya yang saya ketahui, namun ia tetap ikhlas hmm…tidak berlebihan jika kusebut ia cerdas, kuat, hebat, ia adalah teman sekamarku di Kos. Saat bercengkerama disebuah kos-kosan dekat kampus Universitas Mulawarman, di Samarinda.

Ia menyimpulkan tentang saya bahwa, saya ambisius!

Dulu, di awal-awal kelas 2 SMA hingga awal-awal kuliah, saya selalu ingin bisa dalam segala hal, bertanya ini itu yang tidak saya tahu, kadang memaksa untuk diajarkan pada bidang yang sebenarnya perlu waktu lama, sepertinya ini membuat mereka kesal pada saya, membaca banyak buku walau bukan bidangnya, ada yang selesai ada yang sampai sekarang pun belum selesai, saya tidak ingin jika orang lain bisa, namun saya tidak. Buruknya, sifat ambisius saya tidak banyak berefek mempengaruhi masa depan saya! Sungguh hingga suatu ketika teman saya itu mengatakan hal tersebut, dan kemudian ia melanjutkan satu kalimat yang membuat saya agak kaget, saya tidak fokus! Sedih mendengarnya, sedih mengingatnya..

Di sisi satu, semangat saya mempunyai impian bisa di banyak hal yang orang lain disekitar saya tidak bisa, disisi lain saya menjadi lalai pada hal-hal yang seharusnya saya prioritaskan, ambisius ini sungguh buruk untuk saya.

Belum selesai.

Suatu hari, beberapa lama kemudian dari kejadian di atas, saya bersantai dengan seorang muslimah sahabat saya sejak SMA. Darinya saya mendengar kalimat ini untuk pertama kali, “don’t think to be the best, but think do the best”. Sekejap saya semakin yakin, sikap ambisi saya yang amatiran itu sungguh-sungguh mengganggu saya. Labil. Sekejap saya tersadarkan, bahwa mimpi untuk bisa dalam segala hal, menjadi yang terbaik di mana pun saya beraktivitas, hanyalah pengertian lain dari arti ambisius.

Mulai dari sini saya yakin ada yang bisa disimpulkan, bahwa di saat kita berpikir menjadi yang terbaik, kita akan merasa gagal jika ada yang lebih baik, bahkan jauh lebih baik, dan ini berefek buruk, kita merasa tersaingi, dan tanpa sadar atau tidak, kita selalu mencari segala informasi, apakah saya masih yang terbaik atau tidak, sungguh merepotkan! Ini juga adalah hasil dari dialog saya beberapa hari yang lalu dengan seorang sahabat muda yang tidak kalah cerdas dan kuat dengan teman satu kos saya itu. Disebuah kos dimana ia tinggal, saat saya bersilaturrahim.

Sahabat muda yang baru saya kenal belum satu tahun itu menyimpulkan, mimpi untuk menjadi yang terbaik hanyalah cara lain untuk membuat kita menjadi ambisius.

Saya teringat dengan catatannya tentang mimpi, yang diiringi dengan aksi. Menyadarkan bahwa sebuah mimpi-mimpi harus sungguh-sungguh diikuti dengan aksi terbaik, bukan ambisi yang ngalor ngidul, yang mungkin kita tak sadari menyakiti orang-orang disekeliling kita. Menyadarkan saya, bahwa inti dari catatannya itu adalah sebuah aplikasi nyata dan realistis dari kalimat “don’t think to be the best, but think do the best!”

Dengan berpikir demikian, saat mimpi-mimpi kita belum terwujud, kita tetap teguh melakukan aksi terbaik kita. Kita tidak akan merasa jatuh dan gagal, kemudian goyah atau putus asa. Dengan berpikir demikian, kita tidak akan terfokus pada hasil, namun terfokus pada cara kita untuk mencapai mimpi itu. Cara yang baik kah? Atau cara yang kita sendiri telat menyadari ternyata cara kita menzhalimi diri sendiri dan orang lain?!

“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” ~ Al-Israa’ : 84

“Katakanlah: ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula).” ~ Al-An’aam : 135

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” ~ At-Taubah : 105

Keep moving forward, lakukanlah yang terbaik, dan tunggulah kejutan-kejutan dari Allah, yang akan membuat kalian sibuk untuk mensyukurinya. Kejutan-kejutan kecil dan besar, yang terus mengalir deras… :)


Dian Eka
Pojok Jakarta, 01.10 am 8 januari 2010/21 Muharram 1431
__________________________
____________


PS. Bersyukur tak terhingga, penghargaan untuk mbak Yuli Hartati, sahabatku Meita Taury, dan adikku Oki Setiana Dewi, yang telah menginspirasi rangkaian catatan ini...

1 komentar:

muhammad iqbal taftazani mengatakan...

do the right thing, and do the thing right.